Wahai Jiwa,
Kau harus turun berlaga, atau
Kupaksa kau turun
Mengapa kau tampak enggan
Menggapai surga
Saya terhenyak...
Benar, saya terhenyak ketika membaca bait puisi ini. Ada sesuatu di dalamnya. Ada sebentuk kekuatan yang begitu menghentakkan dan mengguggah. Entah apa yang ada di balik puisi ini yang begitu memiliki kekuatan yang teramat dahsyat. Mungkin ini berlebihan, mungkin pula saya hanya terbawa suasana hening dan tenang. Tapi bagaimanapun bait puisi ini begitu mengguggah.
Saya lanjutkan membaca agar mengetahui bagaimana puisi ini tercipta...
... Ketika itu, pasukan Muslim sedang mengalami sebuah situasi sulit dalam perang Mu'tah. Abdullah bin Rawahah sekejap merasa keraguan di dalam hatinya dalam menghadapi maut. Dengan mengumpulkan segenap keberanian atas rasa cinta dan rindu kepada Tuhannya beliau mengusir keraguan itu dengan puisi. Dan terciptalah bait puisi seperti yang saya tuliskan di atas. Setelah itu keberaniannya kembali terkumpul. Ia pun maju, bertempur dan menggapai cita-citanya: SYAHID di jalan Allah.
Subhanallah, pantas saja...
Ada fenomena unik yang masih belum saya temukan jawabannya secara memuaskan. yaitu hubungan yang saya anggap misterius antara para pejuang sejati dengan puisi dan sastra. Bahkan sosok yang terkenal berkarakter keras dan tegas seperti Umar bin Khattab pun menganjurkan sastra untuk anak-anak. Karena sastra, kata Umar, dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani.
Rasulullan saw sendiri menyukai puisi dan menghapal beberapa bait puisi Arab kuno serta mengenal para penyair. Para sahabat di zaman Rasul saw dan sesudahnya juga menggunakan puisi sebagai cara untuk membangkitkan semangat.
Di kalangan para ulama dan aktivis dakwah zaman ini juga kita juga temukan hal yang sama. Buka dan bacalah karya-karya Dr. Yusuf Qardhawi, Ghazali dan... bukankah salah satu kekuatan tafsir Fi Dzilalil Qur'an, karya Sayyid Quthb, adalah kekuatan sastranya? bahkan Imam Syafi'i dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mewariskan kumpulan puisinya untuk kita.
Fenomena ini, kata Anis Matta dalam karyanya mencari pahlawan Indonesia, menjelaskan bahwa para pahlawan sejati selalu menyimpan kelembutan hati yang membuat nuraninya senantiasa bergetar setiap kali menyaksikan berbagai peristiwa yang mengharu biru; yang membuat semangatnya menggelora setiap kali ia menghadapi tantangan dan panggilan kepahlawanan; yang membuat kesedihannya menyawat jiwa setiap kali ia menyaksikan kezaliman, kepapaan dan kenestapaan; yang membuat kerinduannya mendayu-dayu setiap kali ia diingatkan pada cita-citanya. Intinya, kelembutan jiwa memberikan mereka kemampuan mengapresiasikan kehidupan secara baik dan intens.
MAKA...
Pantas saja saya terhenyak membaca bait puisi di atas karena ia tercipta memang untuk mereka yang begitu rindu meneruskan jejak langkah para PAHLAWAN.
(Tulisan di blog ini terinspirasi ketika tenggelam dalam karya indah dan bermakna Anis Matta, ‘Mencari Pahlawan Indonesia’)
Ratapan sang pahlawan
Banyak orang bilang kami pahlawan
Banyak orang yang menghormati jerih payah kami
Kami sering dibilang pelita dalam kegelapan
Atau embun penyejuk dalam kehausan
Sampai istilah patriot pahlawan bangsa
Kami memang sering disebut pahlawan
Pahlawan tanpa tanda jasa, sebutannya
Dan memang tak pernah ada tanda jasa
Kami adalah pendidik tunas bangsa
Kami adalah pencetak generasi mendatang
Kami membuat bangsa ini pintar
Dan tetap tak ada tanda jasa pada kami
Dan kami tak memikirkan tanda jasa
Kami hanya ingin bangsa ini maju
Kami hanya ingin mendidik negeri ini
Kami hanya ingin memberi pelajaran
Kami hanya ingin berbagi ilmu
Walau tanpa tanda jasa
Walau gaji tak seberapa
Walau tunjangan alakadarnya
Walau hidup kami tak pernah sejahtera
Perjuangan sang pahlawan
Merdeka!
Sepatah kata terus menghantui
pikiranmu.
Kaki kau bawa lari menerkam
derapnya membunuh segala ketakutan
dan kekhawatiran
Demi Indonesia kau genggam kuat tombak
diiringi nafas menderu
yang mengobarkan keberanian
Merdeka!
Hanya itu keinginanmu
Nyawa dan harta hanyalah hal sepele
yang rela kau pertaruhkan
Meski muka pucat
Badan kurus kerontang
Namun sebutir semangat tetap
melekat hidup di jiwamu yang mulia
Merdeka!
Dengan bibir gemetar kau jeritkan
kata itu.
Tombakmu pun sudah tak sabar
ingin mencari mangsa
Awan bergemuruh dalam sekejap
Tapi hatimu teguh kukuh
tak peduli nyawa terbang di medan perang
Merdeka!
Kini Indonesia sendiri
yang mengucapnya
Sedang kau tinggal terbujur kaku
Tenggelam dalam lautan darah
Seketika semua tampak hening
Walau jasadmu
telah mati,
Namun jasamu
tetap hidup
0 komentar:
Posting Komentar